Friday, April 19, 2024

Asuhan Keperawatan tentang Emfisema

 Asuhan Keperawatan tentang Emfisema

Menurut World Health Organization (WHO), emfisema merupakan gangguan oenegembangan oaru yang ditandai dengan pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan. Sesuai dengan definisi tersebut, jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan maka keadaan ini sebenarnya tidak termasuk emfisema, melainkan sebagai overinflation. Menurut Brunner & Suddarth (2002), Emfisema didefinisikan sebagai distensi abnormal ruang udara di luar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. Sedangkan merurut Doengoes (2000), Emfisema merupakan bentuk paling berat dari Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM) yang dikarakteristikkan oleh inflamasi berulang yang melukai dan akhirnya merusak dinding alveolar sehingga menyebabkan banyak bula (ruang udara) kolaps bronkiolus pada ekspirasi (jebakan udara).

Emfisema adalah penyakit obstruktif kronis dengan karakteristik penurunan elastisitas paru dan luas permukaan alveoulus yang berkurang akibat destruksi dinding alveolus dan pelebaran ruang distal udara ke bronkiolus terminal. Kerusakan dapat terbatas hanya di bagian sentral lobus, dalam hal ini yang paling terpengaruh adalah integritas dinding bronkiolus, atau dapat mengenai paru secara keseluruhan, yang menyebabkan kerusakan bronkus dan alveolus.

Hilangnya elastisitas paru dapat memengaruhi alveolus dan bronkus. Elastisitas berkurang akibat destruksi serabut elastic dan kolagen yang terdapat di seluruh paru dari produk yang dihasilkan dengan mengaktiviasi makrofag alveolus. Penyebab pasti emfisema masih belum jelas, tetapi lebih dari 80% kasus, penyakit biasanya muncul setelah bertahun-tahun merokok. Komponen dalam asap rokok di duga mengubah secara langsung struktur molekul elastic. Emfisema juga member efek pada serabut elastic yang berhubungan dengna penyakit infeksius berulang dan keadaan inflamasi kronis yang menyertai infeksi. Sebagai akibatnya, elastisitas jalan napas hilang dan kolaps alveolus, menurunkan ventilasi. Jalan napas kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah insipirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, udara akan terperangkap di dalam paru dan jalan napas kolaps.

            Dinding di antara alveolus alveoulus, yang disebut septum alveolus, juga dapat mengalami kerusakan. Keadaan ini menyebabkan luas permukaan alveolus yang tersedia untuk pertukaran gas berkurang dan menurunkan kecepatan difusi.

            Factor risiko primer untuk emfisema dalah merokok. Akan tetapi, pajanan berulang pada perokok pasif juga dapat menyebabkan emfisema. Selain itu, ada emfisema bentuk familial yang berhubungan dengan defisiensi anti-protease, alfa-1 antiripsin. Bentuk emfisema ini jarang ditemukan, dan terjadi pada individu yang tidak terpajan dengan asap rokok, meskipun asap tembakau memperburuk penyakit emfisema pada individu yang mengalami defisiensi ini.

 

 

 

 

 

 

A)    PATOLOGI

  

Gambar 2. Patofisiologi Emfisema

Emfisema ditandai oleh kerusakan elastin dan kolagen, yang menyebabkan hiperinflasi alveoli, penghancuran dinding alveoli, dan pembentukan rongga udara yang besar (lobules) sehingga area permukaan alveoli lebih kecil dibandingkan alveoli normal. Rongga ini mengurangi sirkulasi paru karena merusak dinding kapiler alveoli yang menyebabkan penurunan difusi kapiler alveoli sehingga pertukaran gas berkurang. Untuk mengatasi hal ini, pasien emfisema secara tidak sadar meningkatkan frekuensi pernapasan mereka untuk meningkatkan ventilasi alveolar. Emfisema dapat bersifat pusat, yaitu area primer gangguan berada di bagian sentral dari bronkiolus (sering dikaitkan dengan bronchitis kronis) atau panlobular, yaitu kerusakan dan distensi berada di bagian distal bronkiolus (Chang, Ester. John Daly. 2010)

Emfisema merupakan kelainan atau kerusakan yang terjadi pada dinding alveolar. Dapat menyebabkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan udara terganggu akibat dari perubahan ini. kesulitan selama ekspirasi pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding (septum) di antara alvioli, kolaps jalan napas sebagian, dan kehilangan elastisitas rekoil. Pada saat alveoli dan sputum kolaps, udara akan tertahan di antara ruang alveolar (blebs) dan di antara parenkim paru (bullae). Proses ini akan menyebkan peningkatan ventilatori pada dead space atau area yang tidak mengalami pertukaran gas atau darah.

Kerja napas meningkat dikarenakan kekurangan fungsi jaringan paru untuk melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida.emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru. Akibat lebih lanjutnya adalah penurunan perfusi oksigen dan penurunan perfusi oksigen dan penurunan ventilasi. Pada beberapa tingkat emfisema dianggap normal sesuai dengan usia, tetapi jika jhal ini timbul pada awal kehidupan (usia muda), biasanya berhubungan dengan bronkitis kronis dan merokok.

 

B)    ETIOLOGI

Menurut Brunner & Suddarth (2002), merokok merupakan penyebab utama emfisema. Akan tetapi pada sedikit pasien (dalam presentasi kecil) terdapat predisposisi familiar terhadap emfisema yang yang berkaitan dengan abnormalitas protein plasma, defisiensi antitripsin-alpha 1 yang merupakan suatu enzim inhibitor. Tanpa enzim inhibitor ini, enzim tertentu akan menghancurkan jaringan paru. Individu yang secara ganetik sensitive terhadap faktor-faktor lingkungan (merokok, polusi udara, agen-agen infeksius, dan alergen) pada waktunya akan mengalami gejala-gejala obstruktif kronik.

  1.  Merokok

Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat hubungan yang erat antara merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa (FEV) (Norwak, 2004)

  1. Keturunan

Belum diketahui jelas apakah faktor keturunan berperan atau tidak pada emfisema kecuali pada penderita dengan defisiensi enzim alfa 1-antitripsin. Kerja enzim ini menetralkan enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan paru, karena itu kerusakan jaringan lebih jauh dapat dicegah. Defisiensi alfa 1-antitripsin adalah suatu kelainan yang diturunkan secara autosom resesif. Orang yang sering menderita emfisema patu adalah penderita yang memiliki gen S atau Z. emfisema paru akan lebih cepat timbul bila penderita tersebut perokok.

  1.   Infeksi

Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejala-gejalanya pun menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernapasan atas pada seorang penderita bronchitis kronis hamper selalu menyababkan infeksi paru bagian bawah, dan menyebabkan kerusakan paru bertambah. Eksaserbasi bronchitis kronis disangka paling sering diawali dengan infeksi virus, yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.

  1. Hipotesis Elastase – Antielastase

Di dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan antielastase agar tidak terjadi kerusakan jaringan. Prubahan antara keduanya akan menimbulkan kerusakan pada jaringan elastic paru. Struktur paru akan berubah dan timbullah emfisema. Sumber elastase yang penting adalah pancreas, sel-sel PMN, dan makrofag alveolar (pulmonary alveolar macrophage – PAM). Rangsangan pada paru antara lain oleh asap rokok dan infeksi menyebabkan elastase bertambah banyak. Aktivitas sistem antietastase, yaitu enzim alfa 1-protease-inhibitor terutama enzim alfa 1-antitripsin menjadi menurun. Akibat yang ditimbulkan karena tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru dan kemudian emfisema.

  1. Polusi

Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan angka kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang padat industrialisasi, polusi udara seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan gangguan pada silia menghambat fungsi makrofag alveolar. Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi.

  1. Faktor Sosial Ekonomi

Emfisema lebih banyak didapat pada golongan sosial ekonomi rendah, mungkin kerena perbedaan pola merokok, selain itu mungkin disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek.

  1. Pengaruh usia

 

C)    KLASIFIKASI

Terdapat tiga tipe emfisema yaitu sebagai berikut :

  1. Etiologi centriolobular

Merupoakan tipe yang sering muncul, menyebabkan kerusakan bronkiolus, biasanya pada region paru atas. Inflamasi berkembang pada bronkiolus tetapi biasanya kantong alveolar tetap tersisa.

  1. Emfisema panlobular (panacinar)

Merupakan ruang pada seluruh asinus dan biasanya termasuk pada paru bagian bawah. Bentuk ini bersama disebut centriaciacinar emfisema, sangat sering timbul pada seorang perokok.

  1. Emfisema paraseptal

Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang mengakibatkann isolasi dari blebs sepanjang perifer paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumotorak spontan. Panacinar timbul pada orang tua dan klien dengan defesiensi enzim alpha-antitripsin. Pada keadaan lanjut, terjadi peningkatan dispnea dan infeksi pilmoner serta sering kali timbul kor pulmonal (CHF bagian kanan).

 

 

D)    MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis pada emfisema yakni

  1. Penampilan Umum
    1. Kurus, warna kulit pucat, dan flattenet hemidiafragma.
    2. Tidak ada tanda CHF kanan dengan edema dependen pada stadium akhir.
    3. Usia 65-75 tahun.

Pemeriksaan fisik dan laboratorium.

  1. Pada klien emfisema paru akan ditemukan tanda dan gejala seperti berikut ini.
    1. Napas pendek persisten dengan peningkatan dispnea.
    2. Infeksi sistem respirasi.
    3. Pada auskultasi terdapat penurunan suara napas meskipun dengan napas dalam.
    4. Wheezing ekspirasi tidak ditemukan dengan jelas.
    5. Produksi sputum dan batuk jarang.
    6. Hematokrit.

 

  1. Pemeriksaan Jantung.

Tidak terjadi pembesaran jantung. kor pulmonal timbul pada stadium akhir.

  1. Riwayat merokok.

Biasanya didapatkan, tetapi tidak selalu ada riwayat merokok.

 

Tabel 1. Manifestasi Klinis Penyakit Paru Obstruktif Kronik

No

Manifestasi

Emfisema

1

Riwayat kesehatan klinis

Secara umum sehat, tapi perokok

2

Batuk/ Sputum

Minor/ dapat diabaikan

3

Pemeriksaan fisik dan keadaan umum

Kakeksia, riwayat penurunan berat badan dan malnutrisi protein kalori

4

Dispnea

Berkembang secara lambat

5

Gambaran dada

Mengalami peningkatan diameter anteroposterior, dada tong, otot aksesori pernapasan menonjol, ekskursi diafragma terbatas

6

AGD

Mendekati normal, penurunan PaO2 atau penurunan PaCO2, atau normal hiperkapnea pada penyakit lanjut

7

Sinar X dada

Hiperinflasi, diagragma datar, pelebaran batas interkosta

 

Menurut Corwin, Elizabeth J.(2009), gambaran klinis emfisema yakni.

  1. Terperangkapnya udara akibat hilangnya elastisitas paru menyebabkan dada mengembang (peningkatan diameter anterior-posterior).
  2. Bunyi napas tidak ada pada saat auskultasi.
  3. Penggunaan otot aksesori pernapasan.
  4. Takipnea (peningkatan frekuensi pernapasan) akibat hipoksia dan hiperkapnia. Karena peningkatan kecepatan pernapasan pada penyakit ini efektif, sebagian ebsar individu yang mengidap emfisema tidak memperlihatkan perubahan gas darah arteri yang bermakna sampai penyakit tahap lanjut pada saat kecepatan pernapasan tidak dapat mengatasi hipoksia atau hiperkapnia. Pada akhirnya, semua nilai gas darah memburuk dan terjadi hipoksia hiperkapnia, dan asidosis.
  5. Depresi system saraf pusat dapat terjadi akibat tingginya kadar karbondioksida (narcosis karbondioksida).
  6. Suatu perbedaan kunci antara emfisema dan bronchitis kronis adalah pada emfisema tidak terjadi pembentukan sputum.

 

  1. F.     TANDA DAN GEJALA
    1. 1.      Nafas pendek persisten dengan peningkatan dispenia
    2. 2.       Infeksi sistem respirasi
    3. 3.      Wheezing ekspirasitidak ditemukan dengan jelas
    4. 4.      Produksi sputum dan batuk jarang
    5. 5.      Hematikrit

 

  1. G.    KOMPLIKASI

Komplikasi emfisema yakni

  1. sering mengalami infeksi infeksi ulang pada saluran pernafasan
  2. daya tahan tubuh mengalami kurang sempuran
  3. proses peradangan yang kronis di saluran napas
  4. tingkat kerusakan paru makin parah

Menurut Corwin, Elizabeth J. (2009), komplikasi emfisema yakni

  1. Hipertensi paru akibat vasokonstriksi hipoksik paru kronis, yang akhirnya menyebabkan kor pulmonalise.
  2. Penurunan kualitas hidup pada pengidap penyakit ini yang parah.

 

  1. H.    DIAGNOSTIK
    1. kebersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan:
      1. Bronkospasme
      2. peningkatan produksi sekret (sekret yang tertahan ,kental)
      3. menurukan energi/fatigue
      4. kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan:

a. kurangnya suplai oksigen (obstruksi jalan naps oleh sekret, bronkospasme, air trapping)

  1. destruksin alveoli

 

  1. I.       PENATALAKSANAAN

Penatalaksaan utama pada klien emfisema adanya meningkatkan kualitas hidup, memperlambat perkembangan proses penyakit, dan mengobati obstruksi saluran napas agar tidak terjadi hipoksia. Pendekatan tetapi mencangkup :

  1. Pemberian terapi terapi untuk meningkatkan ventilasi dan menurunkan kerja napas.
  2. Mencegah dan mengobati infeksi.
  3. Teknik terapi fisik untuk memperbaiki dan meningkatkan ventilasi paru.
  4. Memelihara kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk memfalitasi pernafasan yang adekuat.
  5. Dukungan psikologis
  6. Edukasi dan rehabilitasi klien
  7. Jenis obat yang di berikan berupa :
  8. Bronkodilators
  9. Terapi aerosol

10.  Terapi infeksi

11.  Kortikosteroid

12.  Oksigenasi

Selain itu, oleh Corwin, Elizabeth J. (2009) penatalaksanaan emfisema yakni pengobatan emfisema bertujuan menghasilkan gejala dan mencegah perburukan kondisi penyakit. Emfisema tidak dapat disembuhkan. Terapi antara lain:

  1. Mendorong individu untuk berhenti merokok
  2. Mengatur posisi dan pola bernapas untuk mengurangi jumlah udara yang terperangkap.
  3. Member pengajaran mengenai teknik relaksasi dan cara untuk menghemat energy
  4. Banyak pasien emfisema memerlukan terapi oksigen agar dapat menjalankan aktivitas sehari-hari. Terapi oksigen dapat memperlambat kemajuan penyakit dan mengurang morbiditas dan mortilitas.
  5. Terapi latihan yang dirancang dengan baik dapat memperbaiki gejala.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. J.      POHON MASALAH

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB I

KONSEP ASKEP

 

  1. A.    Pengkajian

Pada pemeriksaan fisik emfisema, yakni

  1.  Pernafasan B1 (breath)
    1.  Bentuk dada : barrel chest
    2. Pola nafas : tidak teratur
    3. Suara napas : tidak terdengar saat di auskultasi.
    4. Retraksi otot bantu napas : ada
    5. Kardiovaskular B2 (blood)
      1. Irama jantung : regular; S1,S2 tunggal.
      2. Nyeri dada : ada, skala 6
      3. Akral : lembab
      4. Tekanan darah: 130/80 mmHg (hipertensi)
      5. Saturasi Hb O2 : hipoksia
      6. Persyarafan B3 (brain)

Umumnya normal

  1. Perkemihan B4 (bladder)

Pada umumnya normal

  1. Pencernaan B5 (bowel)

Pada umumnya normal.

  1. Muskuloskeletal/integument B6 (bone)
    1. Turgor kulit : Berkeringat
    2. Massa otot : menurun

 

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang atau pemeriksaan laboratorium dihasilkan abnormal pada pemeriksaan fungsi paru, termasuk penurunan hasil pengukuran FEV, (volume ekspresi paksa), penurunan kapasitas vital, dan peningkatan volume residual (udara yang tersisa di dalam saluran napas setiap kali bernapas) mengakibatkan penurunan elastisitas paru. Seiring perkembangan penyakit, analisis gas darah yang pertama kali menunjukkan hipoksia. Pada tahap lanjut penyakit, kadar karbondioksida juga dapat mengalami peningkatan (Corwin, Elizabeth J.2009).

            Pemeriksaan diagnostik menurut Somantri, Irman (2009) yakni:

  1. Chest X-Ray, dapat menunjukkan hipernflantion paru, flattenet diafragma, peningkatan ruang udara restroternal, penurunan tanda vascular/ bullae (emfisema), peningkatan suara bronkovaskuler (bronchitis), normal ditemukan satu periode remisi (asma).
  2. Pemeriksaan fungsi paru, dilakukan untuk menentukan penybeba dispnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau rektraksi, memperkirakan tingkat disfungsi, dan mengeluarkan efek dari terapi, misalnya bronkodilator.
  3. Total Lung Capacity (TLC): meningkatkan pada bronchitis berat dan biasanya pada asma, namun menurun pada emfisema.
  4. Kapasitas Inspirasi, menurun pada emfisema.
  5. FEVI/ FVC: rasio tekanan ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital (FVC) menurun pada bronchitis dan asma.
  6. Arteri Blood Gasses (ABGs): menunjukkan proses penyakit kronis, sering kali PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau meningkat (emfisema), tetapi sering kali menurun pada asma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma)
  7. Bronkogram, dapat menunjukkan dilatasi dari bronki saat inspirasi, kolaps bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mucus (bronchitis).
  8. Darah lengkap, terjadi peningkatan hemoglobin (emfisema berat) dan primer.
  9. Kimia darah, alpha 1-antitripsin kemungkinan kurang pada emfisema primer.

10.  Sputum kultur, untuk menentukan adanya infeksi dan mengidentifikasi pathogen, sedangkan pemeriksaan sitologi digunakan untuk menentukan penyakit keganasan atau alergi.

11.  Elektrokardiogram (EKG): deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asma berat), atrial disritmia (bronchitis), gelombang P dan leads II, III dan AVF panjang, tinggi (pada bronchitis dan emfisema), dan aksis QRS vertical (emfisema).

12.  Exercise ECG, Stress Test, membantu dalam mengkaji tingkat disfungsi pernapasan, mengevaluasi keefektifan obat bronkodilator dan merencanakan/ evaluasi program.

Intervensi dan rasional pada penyakit ini didasarkan pada konsep Nursing Intervention Classification (NIC) dan Nursing Outcome Classification (NOC).

 

  1. B.     DIAGNOSA KEPERAWATAN
  2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasme, peningkatan produksi secret (secret yang tertahan kental), menurunnya energy atau fatigue
  3. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan kurangnya suplai oksigen (obstruksi jalan napas oleh secret bronkospasme, air trapping), destruksi alveoli.
  4. Peningkatan pola napas berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang ditandai penumpukan secret di alveoli.
  5. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan destruksi alveoli.

 

  1. C.    INTERVENSI

Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasme, peningkatan produksi secret (secret yang tertahan, kental), menurunnya energy atau fatigue

Ditandai dengan:

1)      Klien mengeluh sulit untuk bernapas

2)      Perubahan kedalaman/ jumlah napas, penggunaan otot bantu pernapasan

3)      Suara napas abnormal seperti wheezing, ronchi, dan crackles,

4)      Batuk (persisten) dengan/ tanpa produksi sputum

 

Tujuan (NOC):

Status respirasi kepatenan jalan napas dengan skala 2-5 (1-5) setelah diberikan perawatan selama 3x24 jam.

 

Kriteria Hasil:

1)      Tidak ada demam

2)      Tidak ada cemas

3)      RR dalam batas normal (16-24 jam x/ menit)

4)      Irama napas dalam batas normal

5)      Pergerakan sputum keluar dari jalan napas

6)      Bebas dari suara napas tambahan

NO

INTERVENSI

RASIONAL

1

Manajemen jalan napas

Mengatur tindakan pemberian jalan napas

2

Penurunan kecemasan

Memotivasi klien dalam menghadapi masalah

3

Aspiration precautions

Pemberian tindakan jalan napas

4

Fisioterapi dada

Meningkatkan jalan napas

5

Latih batuk efektif

Mengeluarkan jalan napas (meningkatkan jalan napas)

6

Terapi oksigen

Meningkatkan jalan napas

7

Pemberian posisi

Memberikan rileks dan meningkatkan jalan napas

8

Monitoring respirasi

Memantau perkembangan jalan napas klien

9

Surveillance

Meningkatkan jalan napas dan mengurangi risiko terhambatnya jalan napas pada klien

10

Mengurangi jumlah pengunjung yang datang

Meningkatkan ketenangan klien

11

Berikan Health Education

Memberikan pengetauhan kepada klien tentang bersihan jalan napas

12

Monitoring tanda vital

Memantau kondisi klien

 

Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan kurangnya suplai oksigen (obstruksi jalan napas oleh secret, bronkospasme, air trapping), destruksi alveoli

Ditandai dengan:

1)      Dispnea

2)      Confusion lemah

3)      Tidak mampu mengeluarkan secret

4)      Nilai ABGs abnormal (hipoksia dan hiperkapnea)

5)      Perubahan tanda-tanda vital yang menuju normal (RR:16-24x/menit, tekanan darah: 110-130/70-90 mmHg, nadi: 60-90x/menit,suhu:36,5 derajat Celsius-37,5 derajat Celsius).

6)      Menurunnya toleransi terhadap aktivitas

 

Tujuan (NOC):

Status respirasi pertukaran gas dengan skala 2-5 setelah diberikan perawatan selama 3x24 jam

Kriteria Hasil:

1)      Status mental dalam batas normal

2)      Bernapas dengan mudah

3)      Tidak ada sianosis

4)      PaO2 dan PaCO2 dalam batas normal

5)      Saturasi O2 dalam rentang normal

NO

INTERVENSI

RASIONAL

1

Manajemen asam dan basa

Menyeimbangkan cairam asam basa klien

2

Manajemen jalan napas

Mengatur tindakan pemberian jalan napas

3

Latihan batuk efektif

Meningkatkan jalan napas

4

Tingkatkan aktivitas

Meningkatkan jalan napas

5

Terapi oksigen

Meningkatkan jalan napas

6

Monitoring respirasi

Memantau kondisi dan respirasi klien

7

Monitoring tanda vital

Memantau kondisi klien

Tuesday, March 19, 2024

Asuhan Keperawatan Efusi Pleura

 Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dalam pleura berupa transudat atau eksudat yang diakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi di kapiler dan pleura viseralis.


Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam rongga yang terletak di antara permukaan visceral dan parietal adalah proses penyakit primer yang jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal ruang pleural mengandung sejumlah kecil cairan (5 samapai 15 ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi.


Pada gangguan tertentu, cairan dapat berkumpul dalam ruang pleural pada titik dimana penumpukan ini akan menjadi bukti secara klinis, dan hampir  selalu merupakan signifikan patologi. Efusi dapat terdiri atas cairan yang secara relative jernih, yang mungkin merupakan transudat atau eksudat, atau dapat mengandung darah atau purulen. Transudat (filtrat plasma yang mengalir menembus dinding kapiler yang utuh) terjadi jika faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan reabsorpsi cairan pleural terganggu, biasanya oleh ketidakseimbangan tekanan idrostatik dan onkotik. Transudat menandakan bahwa kondisi seperti asites atau penyakit sistemik seperti gagal jantung kongestif atau gagal ginjal mendasari penumpukkan cairan. Eksudat  (ekstravasasi cairan ke dalam jaringan atau kavitas) biasanya terjadi akibat inflamasi oleh produk bakteri atau tumor yang mengenai permukaan pleural.


Efusi pleural mungkin merupakan komplikasi gagal jantung kongestif, tuberculosis, pneumonia, infeksi paru (terutama virus), sindrom nefrotik, penyakit jaringan ikat, dan tumor neoplastik. Karsinoma brokogenik adalah malignasi yang paling umum berkaitan dengan efusi pleural. Efusi pleural dapat juga tampak pada sirosis hepatis, embolisme paru, dan infeksi parasitic.


 


1.    Etiologi


Kelainan pada pleura hampir selalu merupakan kelainan sekunder. Kelainan primer pada pleura hanya ada 2 macam yaitu, infeksi kuman primer intra pleura dan tumor primer pleura.


Selain itu, efusi pleura disebabkan oleh adanya neoplasma, seperti neoplasma bronkogenik dan metastatic. Kardiovaskuler, seperti gagal jantung kongestif, embolus pulmolar, dan perikarditis. Penyakit pada abdomen, seperti pancreatitis, asites, abses, dan sindrom Meigs. Infeksi yang disebabkan bakteri, virus, jamur, mikobakterial, dan parasit. Trauma dan lain-lain seperti lupus eritematosus sistemik, rheumatoid arthritis, sindrom nefrotik, dan uremia.


Berdasarkan jenis cairan yang terbentuk cairan pleura dibagi lagi menjadi hemoragi yaitu, transudat dapat disebabkan oleh kegagalan jantung kongestif (gagal jantung kiri), sindrom nefrotik, asites (oleh karena sirosis hepatis), sindrom vena kava superior, tumor, dan sindrom meige. Eksudat disebabkan oleh infeksi, TB, pneumonia, tumor, infark paru, radiasi, dan penyakit kolagen. Efusi hemoragi dapat disebabkan oleh adanya tumor, trauma, infark paru, dan tuberculosis.


Berdasarkan lokasi cairan yang terbentuk, efusi dibagi menjadi unilateral dan bilateral. Efusi unilateral tidak mempunyai kaitan yang spesifik dengan penyakit penyebabnya akan tetapi efusi bilateral ditemukan pada penyakit kegagalan jantung kongestif,sindrom nefrotik, asites, infark paru, lupus, eritematosus, sistemis, tumor dan tuberculosis.


 


2.    Manifestasi Klinis


Biasanya manifestasi klinisnya adalah yang disebabkan oleh penyakit dasar. Pneumonia akan menyebabkan demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis, sementara efusi malignan dapat mengakibatkan dispnea dan batuk. Ukuran efusi akan menyebabkan sesak napas. Area yang mengandung cairan atau menunjukkan bunyi napas minimal atau tidak sama sekali menghasilkan bunyi datar, pekak saat perkusi. Egofoni akan terdengar diatas area efusi. Deviasi trakea menjauhi tempat yang sakit dapat  terjadi  jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan. Bila terdapat efusi pleural kecil sampai sedang, dispnea mungkin saja tidak terdapat.


Keberadaan pleural dikuatkan dengan rongent dada. Ultrasound, pemeriksaab fisik, dan torakosentesis. Cairan pleural dianalisis dengan kultur bakteri, pewarnaan gram, basil tahan asam (untuk tubercolosis), hitung sel darah merah dan putih, pemeriksaan kimiawi (glukosa, amylase, LDH, protein), analisis sitologi untuk sel-sel malignan, dan Ph. Biopsy pleura mungkin juga dilakukan.


 


3.    Komplikasi


Infeksi dan fibrosis paru.


 


4.    Patofisiologi


Terjadi efusi pleura bergantung pada keseimbangan antara cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini terjadi karena perbedaan tekanan osmotic plasma dan jaringan interstisial submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk kedalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura.


Pada umumnya, efusi karena penyakit hampir mirip plasma (eksudat), sedangkan yang timbul pada pleura normal merupakan ultrafiltrat plasma (transudat). Efusi yang berhubungan dengan pleuritis disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pleura parietalis sekunder (akibat samping) terhadap peradangan atau adanya neoplasma.


Klien dengan pleura normal pun dapat terjadi efusi pleura ketijka terjadi payah atau gagal jantung kongestif. Saat jantung tidak dapat memompakan darahnya secara maksimal diseluruh tubuh maka akan terjadi peningkatan hydrostatic pada kapiler yang selanjutnya timbul hipertensi kapiler systemic dan cairan yang ada dalam pembuluh darah pada area tersebut menjadi bocor dan masuk kedalam pleura, ditambah dengan adanya penurunan reabsorpsi cairan tadi oleh kelenjar limfe di pleura mengakibatkan pengumpulan cairan yang abnormal atau berlebihan. Hipoalbuminemia (missal pada klien nefrotik sindrom, malabsobsi atau keadaan lain dengan asites dan edema anasarka) akan mengakibakan terjadinya peningkatan pembentukan cairan pleura dan reabsorpsi yang berkurang. Hal tersebut dikarenakan adanya penurunan pada tekanan onkotik intravascular yang mengakibatkan cairan akan lebih mudah masuk kedalam rongga pleura.


Luas efusi pleura yang mengancam volume paru, sebagian akan bergantung pada kekakuan relative paru dan dinding dada. Pada volume paru dalam batas pernapasan normal, dinding dada cenderung recoil ke luar sementara paru-paru cenderung untuk recoil kedalam.


Normalnya hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga pleura. Jumlah cairan di rongga pleura tetap,karena adanya tekanan hidrostatis pleura parietalis sebesar 9cmH2O. Akumulasi cairan pleura dapat terjadi apabila tekanan osmotik koloid menurun (misalnya pada penderita hipoalbuminemea dan bertambahnya permeabilitas kapiler akibat ada proses peradangan atau neuplasma, bertambahnya tekanan hidrostatis akibat kegagalan jantung) dan tekanan negatif intrapleura apabila terjadi atelektasis paru (Alsagaf, 1995).


Efusi pleura berarti terjadi penumpukan sejumlah besar cairan bebas dalam kafum pleura. Kemungkinan proses akumulasi cairan dirongga pleura terjadi akibat beberapa proses yang meliputi (Guyton dan Hall, 1997), adanya hambatan drainase limfatik dari rongga pleura, gagal jantung yang menyebabkan tekanan katilep paru dan tekaran perifer menjadi sangat tinggi sehingga menimbulkan transudasi cairan yang berlebihan ke dalam rongga pleura, menurunnya tekanan osmotik koloid plasma juga memungkinkan terjadinya transudasi cairan yang berlebihan, adanya proses infeksi atau setiap penyebab peradangan apapun pada permukaan pleura dari rongga pleura dapat menyebabkan pecahnya membran kapiler daan memungkinkan pengaliran protein plasma dan cairan kedalam rongga secara cepat.


Infeksi pada tuberkulosis paru disebabkan oleh bakteri Mycobacteryom tuberkulosis yang masuk melalui saluran pernafasan menuju alveoli, sehingga terjadilah infeksi primer. Dari infeksi primer ini, akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal) dan juga diikuti dengan pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfangitis regional). Peradangan pada saluran getah bening akan mempengaruhi permebilitas membran. Permeabilitas membran akan meningkat dan akhirnya menimbulkan akumulasi cairan dalam rongga pleura. Kebanyakan terjadinya efusi pleura akibat dari tuberkulosis paru melalui fokus sub pleura yang robek atau melalui aliran getah bening. Sebab lain dapat juga diakibatkan dari robeknya perkijuan kearah saluran getah bening yang menuju rongga pleura, iga atau kolumna vertebralis. Adapun bentuk cairan efusi akibat toberkulosis paru adalah eksudad yang berisi protein dan terdapat pada cairan pleura akibat kegagalan aliran protein getah bening. Cairan ini biasanya serosa, namun kadang- kadang bisa juga hemarogi.


 


5.    Patogenesis


Timbulnya efusi pleura dapat disebabkan oleh kondisi-kondisi seperti adanya gangguan dalam reabsorpsi cairan pleura (misal karena adanya tumor), peningkatan produksi cairan pleura (misalnya akibat infeksi pada pleura). Sedangkan secara patologis, efusi pleura terjadi dikarenakan keadaan-keadaan seperti, meningkatnya tekanan hidrostatik (misal akibat gagal jantung), menurunnya tekanan osmotic koloid plasma (misal hipoproteinemia), meningkatnya permeabilitias kapiler (missal infeksi bakteri), dan berkurangnya absorpsi limfatik.


     Penyebab efusi pleura dilihat dari jenis cairan yang dihasilkannya adalah sebagai berikut:


a.    Transudat


1)   Gagal jantung, sirosis hepatis dan asites, hipoproteinemia pada nefrotik sindrom, obstruksi vena kava superior, pasca bedah abdomen, dialysis peritoneal, dan atelektasis akut.


2)   Eksudat


a)    Infeksi (pneumonia, TBC, virus, jamur, parasit, abses)


b)   Neoplasma (ca.paru, metastasis, limfoma, leukemia)


c)    Emboli atau infark paru


d)   Penyakit kolagen (SLE, rheumatoid arthritis)


e)    Penyakit gastrointestinal (pancreatitis, ruptur esophagus, abses hati)


f)    Trauma (hemotorak, khilotorak)


 


6.    Penatalaksanaan


Tujuan pengobatan adalah untuk menemukan penyebab dasar, untuk mencegah penumpukan cairan, dan menghilangkan ketidaknyamanan serta dispnea. Pengobatan spesifik ditunjukkan pada penyebab dasar (misal gagal jantung kongestif, pneumonia, sirosis).


Torasentesis dilakukan untuk membuang cairan, untuk mendapatkan specimen guna keperluan analisis, dan untuk menghilangkan dispnea. Namun bila penyebab adalah malignansi, efusi dapat terjadi kembali dalam beberapa hari atau minggu. Torasentesis berulang mengakibatkan nyeri, penipisan protein dan elektrolit, dan kadang pnemotoraks. Dalam keadaan ini pasien mungkin diatasi dengan pemanasa selang dada dengan drainase yang dihubungkankan kesistem drainase water-seal atau pengisapan untuk mengevaluasi ruang pleura dan pengembangan paru.


Agens yang secara kimiawi mengiritasi, seperti tetrasiklin, dimasukkan ke dalam ruang pleural untuk mengobservasi ruang pleural dan mencegah akumulasi cairan lebih lanjut.  Setelah agens dimasukkan selang dada di klem dan pasien dibantu untukmengmbil berbagai posisi untuk memastikan penyebaran agens secara merata dan untuk memaksimalkan kontaks agens dengan permukaan pleura. Selang dilepaskan klemnya sesuai yang di resepkan, dan drainase dada biasanya diteruskan beberpa hari lama untuk mencegah reakumulasi cair dan untuk meningkatkan pembentukan adesi antara pleuralis viseralis dan parietalis.


Modalitas pengobatan lainnnya untuk efusi pleura malignan termasuk radiasi dinding dada, bedah pleuroktomi, dan terapi diuretic. Jika cairan pleura merupakan eksudat, prosedur diagnostic yang lebih jauh dilakukan untuk menentukan penyebabnya. Pengobatan untuk penyebab primer kemudian dilakukan.


 


7.    Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja, tetapi kadang-kadang sulit juga, sehingga perlu pemeriksaann penunjang seperti sinar tembus dada. Diagnosis yang pasti bisa didapatkan melalui tindakan torakosentesis dan biopsy pleura pada beberapa kasus.


a.    Sinar Tembus Dada


Permukaan cairan yang terdapat pada rongga pleura akan membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi daripada bagian medial. Bila permukaaannya horizontal dari lateral ke medial pasti terdapat udara dalm rongga tersebut yang bisa berasal dari luar atau dari dalam paru-paru itu sendiri.


Hal lain yang dapat terlihat dalam foto dada efusi pleura adalah terdrongnya media strernum pada sisi yang berlawanan dengan cairan. Akan tetapi , bila terdapat atelektasis pada sisi yang bersamaan dengan cairan, mediastenum akan tetap pada tempatnya.


b.    Torakosentesis


Asoirasi cairan pleura berguna sebagai sarana untuk diagnostic maupun therapeutic. Torakosentesis sebaiknya dilakukan pada posisi duduk. Lokasi aspirasi adalah pada bagian bawah paru disela iga ke 9 garis aksila posterior dengan memakai jarum abbocath nomer 14 atau 16. Pengeluaran cairan sebaiknya tidak lebih dari 1000-1500cc pada setiap aspirasi. Ketika aspirasi dilakukan sekaligus dalam jumlah banyak, maka akan menimbulkan syok pleural (hipotensi) atau edema paru. Edema paru terjadi karena paru-paru terlalu cepat mengembang.


Perbedaan Cairan Transudat dan Eksudat


 


Transudat


Eksudat


1.    Warna


2.    Bekuan


3.    Berat jenis


4.    Leukosit


5.    Eritrosit


6.    Hitung jenis


7.    Protein total


8.    LDH


9.    Glukosa


10.     Fibrinogen


11.     Amylase


12.     Bakteri


1.    Kuning pucat, jernih


2.    –


3.    < 1018


4.    < 1000 / Ul


5.    Sedikit


6.    MN (limfosit atau mesotel)


7.    < 50% serum


8.    < 60% serum


9.    = plasma


10.    0,3-4%


11.    –


12.    –


 


1.    Jernih, keruh, purulen, hemoreged


2.     -/+


3.     > 1018


4.     Bervariasi, > 1000/uL


5.     Biasanya banyak


6.     Terutama polimorfornukler (PMN)


7.     > 50% serum


8.     > 60% serum


9.     =/< plasma


10. 4-6% atau lebih


11. > 50% serum


12. -/+


Sumber : Black, J.M., dan Jacob, E.M.,1993


c.    Biopsi pleura


Pemeriksaan histologis satu atau beberapa contoh jaringan pleura dapat menunjukkan 50-75% diagnosa kasus pleuritis tuberculosis dan tumor pleura. Bila hasil  biopsy pertama tidak memuaskan dapat dilakukan biopsy ulangan. Komplikasi biopsy adalah pneumotorak, hemotorak, penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada.


d.   Pendekatan pada efusi atau yang tidak terdiagnosa.


e.    Pemeriksaan penunjang lainya:


1)   Bronkoskopi:  pada kasus-kasus neoplasma, korpus alienum, abses paru.


2)   Scanning isotop  : pada kasus-kasus dengan embaoli paru


3)   Torakoskopi (fiber-optic pleuroscopy); pada kasus dengan neoplasma atau TBC.


f.     Pengukuran Fungsi Paru (Spirometri)


Penurunan kapasitas vital, peningkatan rasio udara residual ke kapasitas total paru, dan penyakit pleural pada tuberkulosis kronis tahap lanjut.


g.    Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium yang spesifik adalah dengan memeriksa cairan pleura agar dapat menunjang intervensi lanjutan. Analisis cairan pleura dapat dinilai untuk mendeteksi kemungkinan penyebab dari efusi pleura. Pemeriksaan cairan pleura hasil thorakosentesis secara makroskopik biasanya dapat berupa cairan hemoragi, eksudat, dan transudat.


Haemorrhagic pleural efusion, biasanya terjadi pada klien dengan adanya keganasan paru atau akibat infark paru terutama disebabkan oleh tuberkulosis.


Yellow exudate pleural efusion, terutama terjadi pada keadaan gagal jantung kongestif, sindrom nefrotik, hipoalbuminemia, dan perikarditis konstriktif.


Clear transudate pleural efusion, sering terjadi pada klien dengan keganasan ekstrapulmoner


Hasil


Kemungkinan Penyebab atau penyakit


Leukosit 25000 (mm3)


Empiema


Banyak Neutrofil


Pneumonia, infark paru, pankreatitis, dan TB paru.


Banyak limfosit


Tuberkulosis, limfoma, dan keganasan


Eosinofil meningkat


Emboli paru, Polyathritis nodosa, parasit, dan jamur


Eritrosit


Mengalami peningkatan 1000-10000/mm3, cairan tampak hemoragis, dan sering dijumpai pada penderita pankreatitis atau pneumonia. Bila eritrosit >100000 mm3 menunjukkan adanya infark paru, trauma dada, dan keganasan


Misotel banyak


Jika terdapat mesotel kecurigaan TB bisa disingkirkan


Sitologi


Hanya 50-60% kasus-kasus keganasan dapat ditemukan keberadaan sel ganas. Sisanya kurang lebih terdeteksi karena akumulasi cairan pleura lewat mekanisme obstruksi, preamonitas, atau atelektasis.


 


8.    Pohon Masalah


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


BAB III


KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


 


A.  Pengkajian


1.    Biodata


Sesuai dengan etiologi penyebabnya, efusi pleura dapat timbul pada seluruh usia. Status ekonomi (tempat tinggal) sangat berperan terhadap timbulnya penyakit ini terutama yang didahului oleh tuberculosis paru. Klien dengan tuberculosis paru sering ditemukan didaerah padat penduduk dengan kondisi sanitasi kurang.


 


2.    Riwayat Kesehatan


a.    Keluhan Utama


Kebanyakan efusi pleura bersifat asymptomatic, gejala yang timbul sesuai dengan penyakit yang mendasarinya. Pneumonia akan menyebabkan demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritic, ketika efusi sudah membesar dan menyebar kemungkinan timbul dispnea dan batuk. Efusi pleura yang besar akan mengakibatkan nafas pendek. Tanda fisik meliputi defiasi trakea menjauh sisi yang terkena, dullness pada perkusi da penurunan bunyi pernapasan pada sisi yang terkena.


b.    Riwayat Kesehatan Dahulu


Klien dengan efusi pleura terutama akibat adanya infeksi non pleura biasanya mempunyai riwayat penyakit tuberculosis paru.


c.    Riwayat Kesehatan Keluarga


Tidak ditemukan data penyakit yang sama ataupun diturunkan dari anggota keluarganya yang lain, terkecuali penularan infeksi tuberculosis yang menjadi factor  penyebab timbulnya efusi pleura.


d.   Pengkajian Psikososial


Pengkajian psikososial meliputi apa yang dirasakan klien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya, serta bagaimana perilaku klien terhadap tindakan yang dilakukan kepada dirinya.


 


3.    Pemeriksaan Fisik


Pada klien efusi pleura bentuk hemitorak yang sakit mencembung, kosta mendatar, ruang intercosta melebar, pergerakan pernapasan menurun. Pendorongan mediastinum kearah hemotorak kontralateral yang diketahui dari posisi trakea dan iktus cordis. RR cenderung meningkat dan klien biasanya dispneu.


Vocal fremitus menurun terutama untuk efusi pleura yang jumlah cirannya lebih dari 250cc. disamping itu pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit.


Suara perkusi redup sampai pekak bergantung pada jumlah cairannya. Bila cairannya tidak mengisi penuh rongga pleura, maka pada pemeriksaan ekskursi diafragma akan didapatkan adanya penurunan kemampuan pengembangan diafragma. Auskultasi suara napas menurun sampai menghilang, egofoni.


Pemeriksaan fisik B1-B6:


a.    B1 (Breathing)


Inspeksi


Peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan yang disertai penggunaan otot bantu pernapasan. Gerakan pernapasan ekspansi dada yang asimetris (pergerakan dada tertinggal pada sisi yang sakit), iga melebar, rongga dada asimetris (cembung pada sisi yang sakit). Pengkajian batuk yang produktif dengan sputum purulen.


Palpasi


Pendorongan mediastinum kearah hemithoraks kontralateral yang diketahui dari posisi trakea dan ictus cordis. Taktil vremitus menurun terutama untuk efusi pleura yang jumlah cairannya lebih dari 300cc. Disamping itu, pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit.


Perkusi


Suara perkusi redup hingga pekak tergantung dari jumlah cairannya.


Auskultasi


Suara napas menurun sampai meenghilang pada sisi yang sakit. Pada posisi duduk, cairan semakin keatas semakin tipis.


b.    B2 (Blood)


Pada saat dilakukan inspeksi, perlu diperhatikan letak ictus cordis normal yang berada pada ICS 5 pada linea medio claviculaus kiri selebar 1cm. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pergeseran jantung.


Palpasi dilakukan untuk menghitung frekuensi jantung (heart rate) dan harus memerhatikan kedalaman dan teratur tidaknya denyut jantung. Selain itu, perlu juga memeriksa adanya thrill, yaitu getaran ictus cordis.


Tindakan perkusi dilakukan untuk menentukan batas jantung daerah mana yang terdengar pekak. Hal ini bertujuan untuk menentukan apakah terjadi pergeseran jantung karena pendorongan cairan efusi pleura.


Auskultasi dilakukan untuk menetukan bunyi jantung I dan II tunggal atau gallop dan adakah bunyi jantung III yang merupakan gejala payah jantung, serta adakah murmur yang menunjukkan adanya peningkatan arus turbulensi darah.


c.    B3 (Brain)


Pada saat dilakukan inspeksi, tingkat kesadaran perlu dikaji, setelah sebelumnya diperlukan pemeriksaan GCS untuk menetukan apakah klien berada dalam keadaan compos mentis, somnolen, atau koma. Selain itu fungsi-fungsi sensorik juga perlu dikaji seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, dan pengecapan.


d.   B4 (Bladder)


Pengukuran volume output urine dilakukan dalam hubungannya dengan intake cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria, karena itu merupakan tanda awal syok.


e.    B5 (Bowel)


Pada saat inspeksi, hal yang perlu diperhatikan adalah apakah abdomen membuncit atau datar, tepi perut menonjol atau tidak, umbilikus menonjol atau tidak, selain itu juga perlu di inspeksi ada tidaknya benjolan-benjolan atau massa. Pada klien biasanya didapatkan indikasi mual dan muntah, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.


f.     B6 (Bone)


Hal yang perlu diperhatikan adalah adakah edema peritibial, feel pada kedua ekstremitas untuk mengetahui tingkat perfusi perifer,serta dengan pemeriksaan capillary refill time. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan kekuatan otot untuk kemudian dibandingkan antara bagian kiri dan kanan.


 


B.  Diagnosa Keperawatan


1.      Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura.


2.      Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan sekresi mukus yang kental, kelemahan, upaya batuk buruk, dan edema trakheal atau faringeal.


3.      Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan penurunan kemampuan ekspansi paru dan kerusakan membran alveolar kapiler.


4.      Gangguan pemenuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh dan penurunan nafsu makan akibat sesak napas sekunder terhadap penekanan struktur abdomen.


5.      Cemas yang berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernapas).


6.      Gangguan pola tidur dan istirahat yang berhubungan dengan batuk yang menetap dan sesak napas perubahan suasana lingkungan.


7.      Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.


 


C.  Intervensi Keperawatan


Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura


Tujuan:


Dalam waktu 2x24jam setelah diberikan intervensi klien mampu mempertahankan fungsi paru secara normal.


Kriteria Hasil:


Irama, frekuensi, dan kedalaman pernapasan berada dalamm batas normal (16-24x/menit). Pada pemeriksaan Rontgen thoraks tidak ditemukan adanya akumulasi cairan, dan bunyi napas terdengar jelas.


No


Rencana Intervensi


Rasional


1


Identifikasi faktor penyebab


Dengan mengidenifikasikan penyebab, kita dapat menentukan jenis efusi pleura sehingga dapat mengambil tindakan yang tepat.


2


Kaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernapasan, serta melaporkan setiap perubahan yang terjadi


Dengan mengkaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernapasan, kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi klien.


3


Baringkan klien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk, dengan kepala tempat tidur ditinggikan 60-90o atau miringkan ke arah sisi yang sakit


Penurunan diafragma dapat memperluas daerah dada sehingga ekspansi paru bisa minimal. Miring ke arah sisi yang sakit dapat menghindari efek penekanan gravitasi cairan sehingga ekspansi dapat maksimal


4


Bantu dan ajarkan klien untuk batuk dan napas dalam yang efektif


Menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau napas dalam. Penekanan otot-otot  dada serta abdomen membuat batuk lebih efektif


5


Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O2 dan obat-obatan serta foto thoraks


Pemberian O2 dapat menurunkan beban pernapasan dan mencegah terjadinya sianosis akibat hipoksia. Dengan foto thoraks, dapat dimonitor kemajuan dari berkurangnya cairan dan kembalinya daya kembang paru.


6


Kolaborasi untuk tindakan thorakosentesis


Tindakan thorakosentensis atau pungsi pleura bertujuan untuk menghilangkan sesak napas yang disebabkan oleh akumulasi cairan dalam rongga pleura.


Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan sekresi mukus yang kental, kelemahan, upaya batuk buruk, dan edema trakheal atau faringeal


Tujuan:


Dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan intervensi, bersihan jalan napas kembali efektif


Kriteria Hasil:


-   Klien mampu melakukan batuk efektif


-   Pernapasan klien normal (16-24 x/menit) tanpa ada penggunaan otot bantu napas. Bunyi napas normal dan pergerakan pernapasan normal.


No


Rencana Intervensi


Rasional


1


Kaji fungsi pernapasan (bunyi napas, kecepatan, irama, kedalaman, dan penggunaan otot bantu napas).


Penurunan bunyi napas menunjukkan atelektasis, ronkhi menunjukkan akumulasi sekret dan ketidakefektifan pengeluaran sekresi yang selanjutnya dapat menimbulkan penggunaan otot bantu napas dan peningkatan kerja pernapasan.


2


Kaji kemampuan mengeluarkan sekresi, catat karakter dan volume sputum


Pengeluaran akan sulit bila sekret sangat kental (efek infeksi dan hidrasi yang tidak adekuat).


3


Berikan posisi semifowler/fowler tinggi dan batuk efektif


Posisi fowler memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya bernapas. Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan sekret ke dalam jalan napas besar untuk dikeluarkan.


4


Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi:


Obat antibiotik


 


 


 


 


 


Agen mukolitik


 


 


 


Bronkodilator: jenis aminofilin via intravena


 


 


 


Kortikosteroid


 


 


Pengobatan antibiotik yang ideal adalah dengan adanya dasar dari tes uji resistensi kuman terhadap jenis antibiotik sehingga lebih mudah mengobati pneumonia


 


Agen mukolitik menurunkan kekentalan dan perlengketan sekret paru untuk memudahkan pembersihan


 


Bronkodilator meningkatkan diameter lumen percabangan trakheobronkhial sehingga menurunkan tahanan terhadap aliran udara


 


Kortikostreroid berguna pada hipoksemia dengan keterlibatan luas dan bila reaksi inflamasi mengancam kehidupan


Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan penurunan kemampuan ekspansi paru dan kerusakan membran alveolar kapiler.


Tujuan:


Setelah diberikan asuhan keperawatan dalam waktu 3x24jam klien menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal yaitu untuk dewasa pH 7,35 - 7,45, anak-anak pH 7,36 – 7,44, PcO2 35 – 45 mmHg, PO2 75 -100 mmHg, HcO3 24 – 28 meq/L


dan bebas gejala distress pernafasan.


Kriteria Hasil:


Berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat kemampuan atau situasi. 


No


Intervensi


Rasional


1


Kaji frekuensi , kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori , nafas bibir, ketidakmampuan bicara atau  berbincang.


Berguna dalam evaluasi derajat distress pernapasan dan/atau kronisnya proses penyakit.


 


2


Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernapas. Dorong napas dalam perlahan atau napas bibir sesuai kebutuhan atau toleransi individu


Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan latihan napas untuk menurunkan kolaps jalan napas, dispnea dan kerja napas.


 


3


Kaji status mental


 


 


Gelisah, mudah terangsang, bingung dan somnolen dapat menunjukkan hipoksemia atau penurunan oksigenasi serebral. Mencegah terlalu lelah dan menurunkan kebutuhan/konsumsi oksigen.


4


Pertahankan istirahat tidur, dorong menggunakan teknik relaksasi dan aktivitas senggang


Memenuhi kebutuhan dasar klien, stress bisa mengakibatkan pola pernapasan terganggu


5


Kaji tingkat ansietas. Dorong menyatakan masalah atau perasaan dengan komunikasi terapeutik. Jawab pertanyaan dengan jujur. Kunjungi dengan sering, atur pertemuan atau kunjungan oleh orang terdekat atau pengunjung sesuai indikasi


Ansietas adalah manifentasi masalah psikologis sesuai dengan respon fisiologi terhadap hipoksia. Pemberian keyakinan dan meningkatkan rasa aman dapat menurunkan komponen psikologis, sehingga menurunkan kebutuhan oksigen dan efek merugikan dari respon fisiologis.


Gangguan pemenuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh dan penurunan nafsu makan akibat sesak napas sekunder terhadap penekanan struktur abdomen.


Tujuan:


Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi terpenuhi.


Kriteria Hasil:


- Konsumsi lebih 40 % jumlah makanan.


- Berat badan normal dan hasil laboratorium dalam batas normal


Albumin: 4-5,5mg/100ml


Transferin: 170-250 mg/100ml


BUN: 10-20mg/100ml


Ekskresi Kreatinin/hari: 0,6-1,3mg/100ml (laki-laki) dan 0,5-1,0 mg/100mg) wanita


No


Intervensi


Rasional


1


Beri motivasi tentang pentingnya nutrisi. 


 


Kebiasaan makan seseorang dipengaruhi oleh kesukaannya, kebiasaannya, agama, ekonomi dan pengetahuannya tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh.


2


Auskultasi suara bising usus.


Bising usus yang menurun atau meningkat menunjukkan adanya gangguan pada fungsi pencernaan.


3


Lakukan oral hygiene setiap hari.


 


Bau mulut yang kurang sedap dapat mengurangi nafsu makan.


4


Sajikan makanan semenarik mungkin.


Penyajian makanan yang menarik dapat meningkatkan nafsu makan.


5


Beri makanan dalam porsi kecil tapi sering.


Makanan dalam porsi kecil tidak membutuhkan energi, banyak selingan memudahkan reflek.


6


 Kolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian diet TKTP


 


Diet TKTP sangat baik untuk kebutuhan metabolisme dan pembentukan antibody karena diet TKTP menyediakan kalori dan semua asam amino esensial.


7


Kolaborasi dengan dokter atau konsultasi untuk melakukan pemeriksaan laboratorium albumin dan pemberian vitamin dan suplemen nutrisi lainnya jika intake diet terus menurun lebih 30 % dari kebutuhan.


Peningkatan intake protein, vitamin dan mineral dapat menambah asam lemak dalam tubuh.


Cemas yang berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernapas).


Tujuan:


Pasien mampu memahami dan menerima keadaannya sehingga tidak terjadi kecemasan.


Kriteria Hasil:


-  Pasien mampu bernafas secara normal


-  Pasien mampu beradaptasi dengan keadaannya


-  Respon non verbal klien tampak lebih rileks dan santai


-  Nafas teratur dengan frekuensi 16-24 kali permenit


-  Nadi 60-100 kali permenit


No


Intervensi


Rasional


1


Berikan posisi yang menyenangkan bagi pasien. Biasanya dengan semi fowler. Jelaskan mengenai penyakit dan diagnosanya.


Pasien mampu menerima keadaan dan mengerti sehingga dapat diajak kerjasama dalam perawatan.


 


2


Ajarkan teknik relaksasi


 


Rasional : Mengurangi ketegangan otot dan kecemasan


3


Bantu dalam menggala sumber koping yang ada.


 


Pemanfaatan sumber koping yang ada secara konstruktif sangat bermanfaat dalam mengatasi stress.


4


Pertahankan hubungan saling percaya antara perawat dan pasien.


Hubungan saling percaya membantu proses terapeutik


5


Kaji faktor yang menyebabkan timbulnya rasa cemas.


 


Tindakan yang tepat diperlukan dalam mengatasi masalah yang dihadapi klien dan membangun kepercayaan dalam mengurangi kecemasan.


6


Bantu pasien mengenali dan mengakui rasa cemasnya.


 


Rasa cemas merupakan efek emosi sehingga apabila sudah teridentifikasi dengan baik, perasaan yang mengganggu dapat diketahui.


Gangguan pola tidur dan istirahat yang berhubungan dengan batuk yang menetap dan sesak napas perubahan suasana lingkungan.


Tujuan:


Tidak terjadi gangguan pola tidur dan kebutuhan istirahat terpenuhi.


Kriteria Hasil:


- Pasien tidak sesak nafas


- Pasien dapat tidur dengan nyaman tanpa mengalami gangguan


- Pasien dapat tertidur dengan mudah dalam waktu 30-40 menit dan pasien beristirahat atau tidur dalam waktu 3-8 jam per hari.


No


Intervensi


Rasional


1


Beri posisi senyaman mungkin bagi pasien.


 


Posisi semi fowler atau posisi yang menyenangkan akan memperlancar peredaran O2 dan CO2.


2


Tentukan kebiasaan motivasi sebelum tidur malam sesuai dengan kebiasaan pasien sebelum dirawat.


 


Mengubah pola yang sudah menjadi kebiasaan sebelum tidur akan mengganggu proses tidur


3


Anjurkan pasien untuk latihan relaksasi sebelum tidur.


 


Relaksasi dapat membantu mengatasi gangguan tidur.


4


Observasi gejala kardinal dan keadaan umum pasien.


 


Observasi gejala kardinal guna mengetahui perubahan terhadap kondisi pasien.


Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.


Tujuan:


Pasien dan keluarga tahu mengenai kondisi dan aturan pengobatan.


Kriteria Hasil:


- Klien dan keluarga menyatakan pemahaman penyebab masalah.


- Klien  dan keluarga mampu mengidentifikasi tanda dan gejala yang memerlukan evaluasi medik.


- Klien dan keluarga mengikuti program pengobatan dan menunjukkan perubahan pola hidup yang perlu untuk mencegah terulangnya masalah.


No


Intervensi


Rasional


1


Kaji patologi masalah individu.


 


Informasi menurunkan takut karena ketidaktahuan. Memberikan pengetahuan dasar untuk pemahaman kondisi dinamik dan pentingnya intervensi terapeutik.


2


Identifikasi kemungkinan kambuh atau komplikasi jangka panjang.


                             


Penyakit paru yang ada seperti PPOM berat, penyakit paru infeksi dan keganasan dapat meningkatkan insiden kambuh.


3


 Kaji ulang tanda atau gejala yang memerlukan evaluasi medik cepat (contoh, nyeri dada tiba-tiba, dispena, distress pernafasan).          


Berulangnya effusi pleura memerlukan intervensi medik untuk mencegah, menurunkan potensial komplikasi.


 


4


Kaji ulang praktik kesehatan yang baik (contoh, nutrisi baik, istirahat, latihan).


                             


Mempertahankan kesehatan umum meningkatkan penyembuhan dan dapat mencegah kekambuhan.